“If we get the right people on the bus,
the right people in the right seats,
and the wrong people off the bus,
then we will figure out how to take it someplace great…”
Kalimat itu adalah perkataan seorang pimpinan perusahaan hebat dalam buku Good to Great karya Jim Collins. Adalah sebuah rahasia yang mahal bahwa kesuksesan seorang pemimpin membawa perusahaannya dari baik (good) menjadi hebat (great) adalah tentang bagaimana dia mendahulukan “siapa” sebelum “apa”. Maksudnya adalah mendahulukan komposisi SDM sebelum menentukan tujuan perusahaan. Dalam analogi bus di atas, pemimpin tersebut tidak memulainya dengan menyetir mobil sambil mengambil penumpang untuk diajak ke suatu tujuan. Sebaliknya, dia mulai dengan memilih penumpang yang tepat kemudian barulah menentukan tujuan kemana bus ini akan dibawa. Ini menarik.
Pemimpin ini tahu 3 buah kenyataan sederhana. Pertama, Ketika dia mulai dengan “siapa” sebelum “apa” maka dia akan mudah sekali beradaptasi dengan perubahan. Bayangkan jika orang-orang itu masuk ke dalam bus karena ingin ke tujuan tertentu, apa yang terjadi jika sang pemimpin merubah tujuan? Tentu mereka tidak siap. Tapi jika orang-orang itu masuk bus karena kesamaan minat, kecocokan, dan kenyamanan, maka tak masalah kemanapun bus akan menuju. Kedua, jika dia memasukkan penumpang yang tepat di dalam bus maka urusan memotivasi dan mengatur tidak jadi masalah. Mereka sudah punya kesadaran dan motivasi dari dalam sehingga siap menciptakan sesuatu yang besar. Ketiga, kalau dia memasukkan orang yang salah maka meskipun kelak misinya sampai ke tujuan tetap saja tidak akan mampu mewujudkan perusahaan yang hebat. Visi yang besar tanpa dukungan SDM yang memadai adalah tidak relevan.
Begitulah kira-kira seharusnya kebijakan pendidikan di negeri ini dimainkan. Berawal dengan membina SDM baru menentukan tujuan. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Ada sebuah kebijakan yang menggelitik saya karena diawali dengan menetapkan tujuan tanpa memikirkan SDM yang memikul beban. Tak peduli SDM dan infrastruktur pendukungnya siap atau tidak yang penting tujuan tercapai.
Kebijakan yang saya maksud adalah kebijakan pendidikan yang baru-baru ini dicanangkan untuk syarat kelulusan program sarjana, magister, dan doktoral. Untuk magister kebijakan itu berbunyi: Untuk lulus program magister harus sudah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi DIKTI. Kebijakan ini mengingatkan saya tentang analogi diatas. Yaitu ketika pemerintah menginginkan “bus” ke arah penerbitan karya ilmiah sebanyak-banyaknya, sementara “penumpangnya” terdiri atas mahasiswa yang suka atau tidak suka menulis dan kampus yang siap atau tidak siap menerbitkan jurnal. Jadi apakah kebijakan ini sudah mendahulukan “siapa” sebelum”apa”? Jawabannya bisa kita telaah dari beberapa realita.
Kesiapan Jurnal
Berdasarkan data di situs DIKTI diketahui bahwa ada sekitar 540-an PTN dan PTS (Universitas dan Institut) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, anggaplah kita ambil sampel 100 PT yang menyelenggarakan program pascasarjana. Jika satu angkatan per kampus menerima rata-rata 1.500 mahasiswa, maka ada 150.000 mahasiswa pascasarjana yang diterima dan lulus per tahun di 100 PT tersebut. Jumlah itulah yang terkena kewajiban publikasi karya ilmiah. Ini adalah jumlah yang terlalu besar dibanding kapasitas jurnal terakreditasi yang ada sekarang.
Tercatat di LIPI saat ini hanya ada 245 judul jurnal ilmiah terakreditasi DIKTI. Jika sebuah jurnal terbit setahun 3 kali dan memuat 10 judul karya per edisi saja, hanya akan tersedia kuota 245x3x10 atau 7.350 judul karya per tahunnya. Sementara antrian karya ilmiah yang ingin dimuat mencapai 150.000 judul per tahun. Lalu kemana puluhan ribu karya ilmiah lainnya akan dimuat?
Jika argumentasinya kemudian tentang menerbitkan jurnal ilmiah dan melakukan akreditasi sebanyak-banyaknya, rupanya kita perlu melihat bahwa akreditasi jurnal tidak bisa sembarangan. Standar akreditasi yang ditetapkan DIKTI sendiri cukup tinggi. Dalam Peraturan Dirjen DIKTI Nomor 49/DIKTI/KEP/2011 disyaratkan bahwa jurnal harus sudah terbit minimal 6 kali sebelum diakreditasi. Ini artinya perlu jam terbang antara 2-3 tahun untuk sebuah jurnal ilmiah sebelum layak mendapat akreditasi. Dengan kondisi eksisting 245 judul jurnal, maka diperlukan 4.775 judul jurnal baru yang harus dibuat dan diakreditasi. Sementara syarat lainnya adalah jumlah cetak minimal sekali terbit adalah 300 eksemplar. Realistiskah jumlah sebanyak itu? Biaya penerbitannya juga pasti sangat besar. Pun jika masalah biaya bisa diatasi, apakah ribuan jurnal yang (misalnya) terbit itu berkualitas? atau hanya sekedar formalitas untuk memenuhi syarat kelulusan?. Rasanya mubadzir kita memiliki ribuan jurnal kalau hanya asal terbit. Masalah kualitas dalam hal ini jauh lebih penting dari kuantitas.
Kesiapan Mahasiswa
Dalam pembukaan Surat Keputusan Dirjen DIKTI dinyatakan bahwa dibanding Malaysia, terbitan karya ilmiah kita masih sangat rendah yaitu 1:7. Namun, justifikasi itu tidak seharusnya melatarbelakangi kebijakan nasional sebesar ini. Penumpang bus kita belum siap. Mahasiswa pascasarjana tidak semuanya suka dan piawai menulis, apalagi ini tulisan ilmiah. Tidak bisa ditutupi banyak yang keberatan dengan kebijakan ini karena memang potensi manusia tidak sama. Ada mahasiswa yang lebih suka meneliti, membuat sesuatu yang baru, atau melakukan inovasi, dibanding menulis. Jika kebijakan menulis karya ilmiah ini diwajibkan bahkan menjadi syarat kelulusan, berapa banyak karya-karya yang dipaksakan dan akhirnya berkualitas rendah.
Pasca kebijakan ini turun, banyak ditemukan indikasi keterpaksaan karena rendahnya kemampuan menulis karya ilmiah dan keterbatasan jurnal. Akhirnya mahasiswa rata-rata menjadikan thesisnya menjadi artikel jurnal untuk memenuhi syarat kelulusan. Walhasil karya ilmiah yang disyaratkan tadi tidak lain adalah thesis yang ditulis dalam format jurnal. Lalu apa fungsinya jurnal jika isinya sama dengan thesis sementara thesis sendiri sudah bisa diakses di perpustakaan kampus. Selain itu karena keterbatasan jurnal, di Program Magister Psikologi UI misalnya, hanya thesis yang mendapat nilai A saja yang berhak masuk jurnal. Thesis dengan nilai selain A tidak dapat dimuat di jurnal.
Menulis bukanlah hal yang sederhana. Butuh banyak latihan dan pengalaman. Apalagi ini adalah tulisan ilmiah yang harus memiliki argumentasi dan pembuktian ilmiah. Oleh karena itu, tidak bisa dipaksakan kepada ribuan orang yang memiliki perbedaan potensi. Gardner menuliskan dalam teori Multiple Intelligences bahwa manusia terbagi menjadi 9 potensi kecerdasan, yaitu: linguistik (bahasa), logis-matematis, visual-spasial, musikal, kinestetik-tubuh, interpersonal (sosial), intrapersonal, naturalis, dan eksistensial.
Dengan demikian setiap orang adalah unik, maka menyamaratakan syarat kelulusan untuk ribuan individu yang unik itu serupa dengan sebuah kisah fabel. Kisah ini tidak diketahui siapa pengarangnya, namun dinukil beberapa kali oleh mereka yang mencoba mengkritik sistem pendidikan. Diceritakan, sejumlah hewan menjalani pendidikan di sebuah hutan. Ada gajah, ular, jerapah, kera, kucing, burung, dan ikan. Lalu ujian akhir bagi mereka adalah: memanjat pohon. Bagaimana dengan nasib Sang Ikan? Sampai kapanpun ia tak akan bisa memanjat pohon. Dengan demikian apakah ikan bodoh?.
Ruang-ruang berkembang
Berangkat dari kenyataan bahwa setiap orang adalah unik, maka jelas bahwa penetapan standar tunggal berupa menerbitkan karya ilmiah untuk lulus program magister tidak akan maksimal. Jikapun berhasil dilakukan, sekali lagi, itu hanyalah formalitas yang miskin kualitas. Alangkah lebih bijak jika disediakan ruang-ruang pilihan agar setiap orang bisa berkarya sesuai potensinya dan kesukaannya (passion).
Ruang-ruang pilihan itu dapat berupa kelompok/komunitas yang tergabung berdasarkan potensi dan passion pada bidang tertentu. Jadi setiap kampus per rumpun disiplin ilmu bisa membuat kelompok keahlian misalnya kelompok keahlian bahasa, teknik, kedokteran, keguruan, seni, ekonomi, kewirausahaan, dan sebagainya. Di dalam kelompok itu, diprogramkan untuk tidak hanya menulis tapi juga meneliti, melakukan inovasi, menghasilkan produk, berkarya sebanyak-banyaknya di bidang masing-masing. Di STEI ITB ada kelompok keahlian semacam ini, namun sayang keanggotaannya masih terbatas pada dosen. Alangkah baiknya jika keanggotaan kelompok semacam ini diperluas ke mahasiswa sehingga atmosfir mengembangkan keilmuan lebih kondusif.
Ruang-ruang pilihan semacam itu bisa diaplikasikan sekaligus untuk jenjang sarjana, master, bahkan doktor. Bedanya di level kompetensinya. Untuk level master, karena kompetensinya setingkat lebih spesialis dibanding program sarjana, maka standar yang ditetapkan pun harus lebih. Misalnya mereka dibebaskan berkarya namun cakupannya harus spesifik. Karya yang dihasilkan harus berupa produk baru, atau inovasi, atau bahkan mencapai level tertinggi inovasi atau state of the art.
Selain itu, pemerintah dan asosiasi profesi dapat melakukan hal yang serupa. Berlomba-lomba mengembangkan keilmuan dan menghasilkan karya nyata. Memberi ruang bergerak dan berkarya sebanyak-banyaknya untuk berbagai disiplin ilmu. Program Technopreneurship Pemuda yang dibuat Kementerian RISTEK 3 tahun terakhir adalah contoh yang relevan untuk bidang kewirausahaan. Memberi ruang berkarya sesuai potensi dan passion dalam hemat saya jauh lebih penting daripada mewajibkan menulis dan menerbitkan ribuan jurnal ilmiah. Dengan langkah yang terarah ini, negeri kita akan memiliki banyak asset dan pundi-pundi keahlian.
Ruang-ruang berkarya ini adalah “bus” dalam analogi tadi. Bus yang disiapkan untuk menampung orang-orang sesuai potesi dan passion-nya. Dengan begini, maka siapapun tidak akan mendapati kesulitan untuk memotivasi orang untuk berkembang. Mereka sudah pada jalur yang dipilih karena kesadaran dan kesukaan.
Kesimpulan
Dengan telaah singkat di atas, kita mengetahui bahwa kebijakan penerbitan tulisan di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi calon master agaknya terlalu dipaksakan. Akan lebih baik jika kita bersama-sama memaksimalkan peran dan potensi. Kampus menciptakan ruang-ruang pilihan dimana setiap orang bebas berkarya. Mahasiswa memastikan diri masuk ke dalam ruang-ruang itu dan berkarya. Sementara pemerintah bertugas mendanai dan mengarahkan .
Tidak salah menerapkan kebijakan karena merasa kalah dari negara lain. Namun menetapkan misi tanpa melihat manusia yang mendukung misi tersebut adalah sebuah kekeliruan yang patut dievaluasi. Manusia adalah variabel terpenting dari sebuah misi. Manusia yang sudah merasa berada di tempat yang tepat, tak akan sulit untuk diarahkan untuk mendukung keberhasilan misi. Jika dikembalikan kepada analogi “bus” tadi, maka mahasiswa, profesional, pengusaha, akademisi dan lain-lain itu adalah penumpang yang telah berada pada bus yang tepat yang siap diarahkan kemana saja tujuan yang dicitakan negara ini. Dengan kalimat lain, kebijakan boleh dibuat berdasarkan latar belakang apapun namun harus mempertimbangkan sisi humanisme. Meminta ikan memanjat pohon tidak akan pernah sesuai dengan potensinya. Buatkan danau untuk ikan-ikan dan biarkan mereka berenang.
Referensi:
[1] Collins, Jim (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap and Others Don’t. New York: Harper Business
[2] Gardner, Howard (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.
[3] Peraturan Dirjen DIKTI Nomor 49/DIKTI/KEP/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah
[4] SK Dirjen DIKTI Nomor 152/E/T/2012 Tanggal 12 Januari 2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah
[5] http://www.dikti.go.id
[6] http://www.isjd.pdii.lipi.go.id
—————————————————————————–
*Essay ini diikutsertakan dalam Lomba Essay “Adiwidya Pascasarjana” 2013 Tantangan Pascasarjana Indonesia : Refleksi Masa Kini dan Masa Depan
Ditulis oleh: Mutri Batul Aini [mahasiswi STEI ITB konsentrasi Chief Information Officer (CIO) angkatan 2013]
You must be logged in to post a comment.