Hello Again

Terkadang saya merasa sedang bermimpi. Seperti halnya hari ini ketika membuka kembali blog ini dan tersadar (seperti baru bangun dari tidur) ternyata sudah enam tahun saya belum menulis lagi (di sini). Enam tahun tentu rentang waktu yang panjang untuk sebuah cerita.

Enam tahun jadi flashback lagi. Masa-masa S2, menikah, dan kini telah memiliki tiga orang putri. MasyaAllah, karunia yang bertubi-tubi dan bahkan lebih dari itu yang tak bisa saya sebutkan di sini. Enam tahun dengan begitu banyak karunia untuk disyukuri, namun begitu banyak pula kekhilafan diri yang harus diperbaiki.

Saya menulis postingan ini di sisi Si Tengah dan Si Bungsu yang sudah mulai tertidur pulas. Si Sulung sudah mulai belajar tidur di kamarnya sendiri. Ya Rabb.. ketika suasana sepi begini, mereka sudah tertidur masing-masing, barulah banyak sekali sesal yang dirutuki. Saya belum bisa menjadi Ibu yang baik untuk mereka.

Tiba-tiba teringat ke zaman masih gadis dulu, ya sekitar 7 tahun lalu. Tentang sosok yang dulu masih sendiri dengan idealisme dan cita-cita yang tinggi. Alhamdulillah, sekarang idealisme dan cita-cita itu masih ada meski belum tercapai. Saya sudah menjadi wanita hebat enam tahun ini. Mendampingi suami, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak-anak, sambil bekerja. Manusia tidak ada yang sempurna, dan tidak apa-apa menjadi diri dengan pencapaian yang ada saat ini.

Saya ingin berterima kasih pada diri sendiri untuk enam tahun ini.

Leave a comment

Filed under Diary

Seri Taujihat Ustadz Aziz #1

Taujih Subuh 170115

~Kammiyan & Nau’iyyan (Kuantitas & Kualitas dlm membaca Alquran)~

Dlm berinteraksi dg Alquran, penting memperhatikan kammiyan & Nau’iyyan. kuantitas adlh sbrp byk kita membaca Alquran dlm suatu waktu; Kualitas adlh bagaimana pemahaman kita thd ayat2 yg kita baca/hafalkan. Ttg kantitas, kita bs lihat tauladan para sahabat&shalafusshalih Misalnya:

– Ummu ayman menangis ketika Rasulullah wafat.bukan menangisi kepergiannya tp menangisi terputusnya/selesainha wahyu dr Allah. beliau merasa kurang, bahkan 30 juz msh kurang bg beliau.
– Abdullah bin Amr bin Ash ketika berdialog dg Rasulullah SAW ttg kuantitas tilawah. beliau sanggup hingga khatam per 3hr. namun Rasulullah melarang kurang dr itu.
– imam syafii mengkhatamkan 60x dlm bln ramadhan & cth lain yg di kitab Al Adzkar yg ditulis oleh Imam Nawawi.
mereka cth tauladan org2 yg tidak bosan dan tidak merasa kebanyakan baca Alquran.

Tentang kualitas, kita hrs membiasakan
– tdk mengkotak2an Alquran per juz. tp per tema
– menauladani kisah2 sahabat & org shalih dlm tadabbur quran. misalnya
*ketika Rasulullah SAW wafat, umar RA sedih dan menyangkal kenyataan namun tersadar ketika Abu Bakr RA membaca ayat “Wa maa muhammadun illa Rasuul.. dst”. Umar berkata seperti baru pertama mendengar ayat ini.
* Kisah seorg pencuri yg urung membobol pintu
karena yg punya rmh sedang sholat & mmbc QS Adz Dzariyyat yg sampai pd ayat :”Dan di langit terdapat rizkimu & apa yg djanjikan kpdmu”.

Kamiyyan&Nau’iyyan hrs sperti 2muka mata uang yg tdk bs dipisahkan.

~Ust Abdul Azis Abd Rauf, Alhafidz~
_________________
Taujih Subuh 180115

~Yu’faqu anhu man Ufiq (Yang Dipalingkan)~

Kadang keyakinan kita kpd Allah sering pudar, sebagaimana misalnya: seringnya kita membaca kalimat “Shodaqallahul ‘adzim” dan kalimah ta’awudz. Begitu seringnya hingga kehilangan makna.

Padahal, meskipun ada saat ketika kita kesulitan membuktikan kebenaran Alquran pun..kita hrs tetap Yakin Allah yang Benar. Seperti Sahabat yg meminum madu lalu perutnya mulas, kata Rasulullah SAW “shadaqallahul “adzim wa kadzaba bathnuka (perut)”. Begitu jg ketika kita mulai sangsi dg Alquran.. ucapkan “shadaqallahul adzim wa kadzaba aqli”. Yakinlah Allah Maha Benar.

Ketika membaca ta’awudz..sbrp dalam kita khusyu minta kpd Allah utk dilindungi dr syetan. dilindungi dr malas, riya, bosan dll..

Karena keyakinan & penghayatan itu penting utk menjaga ketahanan durasi kita bersama Alquran. Kekeringan makna akan kerap membawa kita pd kejenuhan yg akhirnya membawa kepada golongan yg “dipalingkan” dr Alquran (Yu’faqu anhu man ufiq -Adzzariyat:9). kondisi menyedihkan ini hrs diwaspadai. Karena “dipalingkan” bs memiliki 2 kemungkinan: Uqubah Robbaniyah (iqob dr Allah) atau Halah Basyariyah (manusiawi). keduanya tergantung lamanya waktu; jika jenuh hanya sebentar misal kelelahan, lalu setelah istirahat semangat lagi.. berarti manusiawi. Namun jk berkelanjutan hingga berhari2 malas baca quran, malas murojaah, dll dan tidak merasa rindu & kehilangan dlm wkt lama.. berhati2 jgn2 itu iqob dr Allah.

Maknailah, Yakinilah.. dan waspadai dr menjadi “yg dipalingkan”.

-Ust. Aziz Alhafizh-
__________________
Taujih Subuh 190115

~Pemikiran yg hrs dibangun~

Alquran itu hrs jadi:
1. Ibadah:
cita2 kita adalah 30 juz yg istiqomah, bukan yg pernah. Alquran hrs jd ibadah yg dinikmati.

2. Ilman
Alquran hrs jadi pembentuk  pribadi yang alim. sudahkah diri kita alim? yg siap mengalahkan nafsu diri. yg siap bangun dan menghidupkan malam karena tau keutamaan yg besar dlm qiyam.

3. As Syarh (kelapangan)
As Syarh adalah hidayah yg sdh mjd amal. ibadah bukan jd beban tp ringan melaksanakannya. As syarh adlh kefahaman & kesiapan mengAMALkan-nya.

Ketiga hal2 tsb jika kita mampu hayati dan lakukan, akan membawa kita lbh siap.  Ketika waktu2 dauroh sdh dekat maka persiapan sdh hrs dimatangkan, shg dauroh adlh tempat utk memanen mujahadah harian kita, bukan tempat utk mempersiapkan lg 😭.

-Ust Aziz Alhafidz-

_____________________________
~Menghafal jangan pakai logika..~

Ada yg bertanya:
“ustadz kenapa hafalan saya gak nempel2?”

kata ustadz:
“kalau menghafal jangan mikirin “nempelnya”. tp pikirkan : selama apa kita betah bersama Alquran?. kalau skrg betah, besok betah ngga? klo skrg istiqomah, besok  istiqomah ngga?. karena nempel atau ngga itu hak Allah..ikhtiar kita adalah istiqomah..

-Ust. Aziz, 170115, 20.30 wib-
______________________
Taujih penutupan 190115

~3 cita-cita yg ingin kita tunjukkan kepada Allah~

Kalau kita tdk bersama Alquran, akan bersama syetan.
“Dan barang siapa berpaling dr pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Alquran), kami biarkan setan (menyesatkannya) dan menjadi teman karibnya. (QS. Azzukhruf: 37)

Menjadi hafidz/ah bukan tujuan utama. “hafidz/ah” hanyalah sebuah kondisi ketika kita banyak membaca, maka bs membaca dg cara menghafal. Ketika kita banyak murojaah maka akan bisa mengulang hafalan dg lancar.

Ada 3 target yg ingin kita tunjukkan kpd Allah dari mujahadah kita selama  menghafal Alquran:
1. Terwujudnya janji Allah:
“Idza Jaa’a Nashrullahi wal Fath. wa roaitannasa yadkhuluuna fii diinillahi afwaaja.”
Bagaimana kita akan melihat masyarakat cinta Alquran kalau kita blm menunjukkan contoh yg baik.

2. Liyudhirohu `ala diini kullihi wakaafa billahi syahiida
Alquran adalah satu2nya yg patut utk menjadi fondasi peradaban.

3. Hatta laa taquuna fitnah wa yakuuna diinu kulluhu lillah.
Sampai tiada lg fitnah..dan agama semata2 hny untuk Allah.

-Ust aziz Alhafidz-

Leave a comment

Filed under Diary

Mau’idhotil Hasanah & Kemurnian yang Tersisa

Saat itu malam ahad, hujan deras mengguyur Bandung. Guru kami tiba ba’da magrib di Masjid Habiburrahman menggunakan jas hujannya yang basah kuyup. Kami berkumpul di ruangan, dan menyaksikan beliau masuk dengan raut wajah sukacita, bersemangat seperti biasanya walaupun terlihat lelah. Saya memberanikan diri bertanya, “Ustadz, kenapa tidak pakai mobil saja? Kan hujan..”. Lalu beliau menjawab dengan jawaban yang luar biasa. Jawabannya kurang lebih seperti ini: “Akhwat semua mau tahu jawabannya kenapa saya pakai motor?. Karena kalau saya pakai mobil, akan sulit diduplikasi.”

Duplikasi? Kami terbengong tidak mengerti.

Lalu beliau melanjutkan: “Dalam berdakwah, kita harus posisikan diri dengan objek dakwah kita. Jangan sampai apa yang kita lakukan, yang kita kenakan.. itu dirasa terlalu tinggi oleh objek dakwah kita. Kalau saya pakai mobil, mereka akan berpikir: Wah, harus punya mobil ya supaya jadi seperti Ustadz?” Kami terdiam. Malu.

Beliau masih melanjutkan. “Saya barusan ngisi halaqoh anak2 SMA, mereka baruuu banget mulai ngaji, jadi ngga ngerti kalau ngaji itu harus bawa apa aja?.“ Kemudian beliau mengeluarkan segenggam pena dan sebuah buku notes tebal. “Nih…saya sediain pena dan notebook buat mereka. Ngga perlu menyuruh mereka bawa ini. Pertama kita yang bawa, minggu depan mereka insyaAllah sudah bawa buku dan pena”.

Beliau juga, yang mencontohkan bahwa bakti kepada orang tua, adalah di atas segala-galanya. Bukan sekedar kata, beliau melakukannya. Beliau selalu mengantar Ibundanya ke pasar untuk belanja bahan dagangan sayuran setiap malam mulai pukul 00 hingga pukul 2 dinihari. Bahkan beliau bilang.. “Haji atau umroh bagi saya belum lebih wajib daripada berbakti kepada Ibunda saya. Selama beliau masih ada, beliau-lah letak bakti saya”.

Beliau yang membesarkan hati kami ketika mulai kesulitan, bosan, dan merasa tak sanggup lagi. Beliau bilang.. “Menghafal itu bukan tentang seberapa banyak dan cepatnya, melainkan tentang seberapa lebih dekat kita dengan Allah dengan hafalan kita. Seberapa besar kita menikmatinya dalam sholat. Seberapa lebih baik diri kita seiring bertambahnya hafalan”.

Beliau selalu sedia pensil dan penghapus ketika menyimak murojaah kami. Melingkari yang salah agar kami ingat terus letak kesalahannya. Kemudian, ketika kami murojaah lagi di lain waktu.. beliau akan siaga dengan penghapusnya. Untuk apa? Untuk menghapus lingkaran-lingkaran kesalahan yang tidak kami ulangi. Percaya atau tidak, cara ini sangat berkesan di hati saya. Sangat. Betapa beliau sangat menghargai perjuangan kami dalam memperbaiki kesalahan.

Seperti itulah, Guru tahfidz kami ~hafizhahullah~ yang begitu teladan. Kadang kami hanya bisa diam termenung mendengarkan nasihat beliau yang penuh hikmah dan keteladanan. Beliaulah yang telah membuat diri ini (lebih) yakin bahwa apapun yang terjadi dalam hidup, syukuri…sabari. Lakukan apa yang Allah ridho, karena keridhoan Allah itu cukup bahkan lebih dari segalanya. Beliau yang telah mengajarkan kami untuk lebih menjaga diri. Tak sepantasnya seorang muslimah yang menghafal itu curhat di facebook, apalagi narsis dengan foto dirinya. Di tengah kaburnya adab interaksi di dunia maya yang memburamkan mata-mata kami, (bagi kami) beliau begitu murni. Prinsip beliau adalah oase yang dulu pernah kami rasakan sejuknya namun hilang ditelan zaman.

——
Suatu subuh pada kesempatan mabit rutin di Habiburrahman, Ustadz Abdul Aziz Al Hafizh melantunkan Surah An-Nahl.. hingga pada ayat:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
(QS An-Nahl: 125)

Mau’idhotil hasanah. Kata-kata ini mengena di hati. Terkenang bagaimana Ustadz kami mencontohkan keteladanan yang lebih ber-efek daripada seribu kata. Ternyata mungkin inilah yang membuat produk tarbiyah di masa-masa awal karakternya lebih kuat meski jumlahnya sedikit. Masa-masa ketika ngaji lebih bermakna karena keikhlasan murobbi/ah-nya; Quran lebih sering dibaca daripada laman-laman dunia maya; Silaturrahim mengetuk pintu rumah saudarinya belum tergantikan dengan media chat yang kini bisa diakses dengan mudahnya.

Mau’idhotil hasanah. Alangkah beruntungnya, generasicicit musholla yang bisa tetap menjaga asholah. Tetap menjadi original meski marginal. Perilakunya, prinsipnya, keputusan penting dalam hidupnya.. menjadi pengajaran yang baik bagi orang lain.

Mau’idhotil hasanah. Mungkinkah kami menjadi salah satunya? Mungkinkah? Semoga…

~Jakarta, sebulan menjelang Ramadhan 1435~

4 Comments

Filed under Diary

Al-Qur’an Annual Competition, Cairo.

Sebuah Film dokumenter berjudul “Koran by Heart”, berisi tentang kisah kompetisi Penghafal Al-Qur’an dari seluruh dunia. Usia peserta berkisar antara 7-19 tahun. Mereka-lah berlian nan mahal. Lentera masa depan. Betapa besar rizki dan amanah yang dimiliki orang tua mereka..

Robbi habli min As-shaalihiiin..

Leave a comment

February 26, 2014 · 2:55 pm

At-tawakkal…~ Ustadz Hanan Attaqi

Tawakkal itu berawal dari husnudzhan kepada Allah, berakhir dengan keyakinan kepadaNya.

Leave a comment

February 17, 2014 · 2:57 pm

langit

IMG_20140107_181754

Mengagumi keindahan langit. Boleh dibilang ini kebiasaan yang umum. Tapi saya tidak peduli. Toh memang langit itu indah dan teramat layak untuk dinikmati. Tiap hari selalu ada sudut langit yang nampak indah,  entah itu birunya, gumpalan meganya, pendar mentari merahnya, pelanginya, crepuscular-nya yang menembus selasela pepohonan.

Saat pertama kali terbang, hal pertama yang sangat ingin saya lihat adalah bagaimana langit terlihat dari atas. Dan ternyata..Masya Allah keindahan yang paripurna. Di sana tempat gulungan cumolonimbus bersemayam. Kadang abu-abu, putih, jingga, hingga ke paduan warna yang bahkan baru kali itu saya lihat. Hampir tak percaya, bahwa gumpalan bak kapas itu adalah air yang menjelang jatuh ke bumi. Bagaimana cara air nan berat bergelantungan di atas sini?.

Di atasnya, masih bentangan mahaluas yang hanya bisa saya sebut “langit”. Langitnya langit. Luasnya tak terperi. Mata ini tak mampu pula menemukan pangkal dan ujungnya. Pemandangan seluas itu seperti tak bergeser padahal saya sedang melaju ribuan kilo per-jam. Betapa luasnya langit, dan kecilnya saya.

Langit selalu mengagumkan. Selalu ada pesan sebanyak bentuk rupanya yang selalu berbeda. Sesekali ia muncul dalam pelangi menyelendang panjang dan anggun sekali seperti menjembatani larik-larik doa dari bumi. Kadang ia muncul terlalu indah antara putih, biru dan jingga saat senja atau merona di ufuk timur saat fajar menyingsing. Seakan semuanya memberi pesan: “Sempatkan melihat ke langit bagaimanapun suasana hatimu”. Benar dia. Karena saat sedih kita akan tersenyum, saat senang kita akan bersyukur. Hanya dengan melihat langit.

Leave a comment

Filed under Diary

catatan survival

Pertengahan 2013 kemarin ada perjalanan seru. Seluruh pegawai baru (yang lebih sering dijuluki “generasi muda” hehe) diwajibkan ikut survival selama 2 minggu. Agak heboh juga awal kabar ini beredar karena belum pernah ada outing selama DUA MINGGU.  Semua orang bertanya-tanya survival macam apa ini?. Yang mengejutkan adalah: ternyata agenda ini permintaan khusus dari Bapak Dirjen dan WAJIB diikuti, tidak ada eksepsi. Yang dinas diminta pulang. Yang urus2 sekolah tunda dulu. Satu-satunya alasan yang diterima adalah: sakit.

Jujur, saya angkat topi dengan Bapak pimpinan yang baru ini. Beliau tidak suka dengan acara semacam perayaan dan gathering  yang tiap tahun selalu diadakan dan menyerap anggaran yang konon ratusan  j**a. Beliau lebih suka mengalokasikan uang untuk membangun karakter SDM-nya. Kata beliau saat pelepasan peserta: “Saya nggak suka kalian yang masih muda tapi letoy gitu. Jadi anak muda itu yang punya daya dongkrak gitu lah..  *wink*

Saya, bersama sekitar 70-an orang lainnya dapat giliran angkatan pertama yang jatuh 2 minggu menjelang Ramadhan.  Sebagai persiapan sebelum berangkat, kami diminta lari keliling lapangan bola Mabes POLRI sebanyak 4 putaran. Kami diminta membawa perlengkapan berupa: baju ganti, perlengkapan sholat, sepatu kets, dan obat pribadi. Dan berikut rute perjalanan survival:

5 hari: pelatihan di barak militer PUSDIKIF Cipatat Jawa Barat
2 hari: menginap di permukiman warga di kaki Gunung Burangrang
3 hari: mendaki dan bermalam di Gunung Burangrang
2 hari: acara bersama seluruh pimpinan di Lembang

rute_survival_djpr_2013

1 hari di Cimahi:

Seharusnya kami langsung dibawa ke Cipatat setelah pelapasan di kantor. Namun karena tempat belum siap, akhirnya kami disinggahkan dulu di Yon Armed Cimahi. Yon Armed itu satuan Angkatan Darat tingkat kabupaten yang (sepertinya) punya tugas latihan lapangan. Yon Armed juga menjadi tempat persediaan senjata dan alat perang. Kami menginap semalam di sana, tidur di atas velbed dan mulai diperlakukan seyogyanya tentara. Misalnya:

Tidur: Tempat tidur harus rapi. Seluruh barang diletakkan di bawah velbed. Sandal dan sepatu disusun dari ukuran terbesar sampai terkecil. Tidak boleh ada barang di atas velbed. Makan: Makan harus di meja makan, bersamaan, tidak boleh berbicara, dan harus CEPAT (waktu makan hanya 3-4 menit). Makan diawali dengan doa dan ditutup dengan doa. Setiap doa dipimpin oleh salah seorang peserta. Selain itu, di sana juga kami diajari cara berbaris dan bonus naik Tank Merkava buatan Rusia. Wonderful.

5 hari di Cipatat:

Kedatangan di Cipatat bikin kami berdecak kagum. Kami memasuki sebuah kawasan latihan militer untuk pertama kalinya. PUSDIKIF, singkatan dari Pusat Pendidikan Infanteri, adalah barak militer yang digunakan untuk melatih anggota TNI-AD dari seluruh Indonesia. Tempat ini cukup luas. Di dalamnya ada puluhan bangunan mess, kantor, tempat khusus makan, lapangan bola, lapangan tembak, dan jalan-jalan aspal yang menghubungkan diantaranya.  Di seluruh bagian tumbuh pohon-pohon besar yang makin membuat area ini hijau asri. Sekaligus horor.

Berikut agenda di Cipatat: Bangun sebelum subuh, sholat, dan kumpul di lapangan pukul 5.00 untuk olahraga. Usai olahraga, mandi dan segera menuju tempat makan untuk sarapan. Pukul 8 sampai sore acara penyampaian materi di kelas, outbond, games, atau belajar baris berbaris (lagi). Sore hari mandi dan makan malam, dilanjutkan dengan sesi evaluasi per kelompok. Pada hari ke 4 dan 5, kami berkesempatan merasakan arung jeram di Sungai Citarum dan panjat tebing di tebing batuan alam Padalarang . Dua kegiatan terakhir ini yang paling favorit, meskipun pasca itu ada beberapa teman yang akhirnya tidak boleh melanjutkan survival karena cedera.

2 hari di Homestay

Selesai di barak militer, kami diboyong ke kaki Gunung  Burangrang. Di sana ada sebuah desa yang memang dijadikan tujuan wisata. Rumah-rumah disana disulap menjadi homestay yang biasa disinggahi dan diinapi. Celakanya, kendaraan yang mengangkut kami –sengaja- tidak mengantar sampai homestay. Kami diturunkan di sebuah desa yang jauhnya puluhan kilometer sebelum lokasi homestay. Dan, coba tebak?

Tepat sekali. Kami disuruh jalan kaki dari desa itu ke lokasi homestay dengan menggendong tas ransel yang mahaberat. Perjalanan ini mereka (panitia) sebut “pemanasan”. Dan memang benar panas karena hari itu sangat terik. Kami dibagi dalam 10 kelompok dan berjalan selama kurang lebih 4-5 jam menuju homestay. Kami menginap 2 malam di rumah penduduk. Bercengkerama dengan mereka dari dekat. Agenda di sini ditutup dengan gotong royong membersihkan lingkungan bersama warga.

3 hari di Gunung Burangrang

Boleh dikatakan ini adalah acara inti. Kami mendaki gunung. Buat saya yang memang berasal dari gunung sih tak terlalu istimewa *hehe songong*. Tapi.. bagi teman-teman yang belum pernah samasekali, ini jadi masalah. Kisah lucu bahkan sedih bertebaran di sepanjang perjalanan.

Gunung Burangrang ini tidak terlalu tinggi, hanya saja medannya sulit. Oleh karenanya, selain kami para anakmuda yang sok jagoan ini.. disertakan pula mentor di tiap kelompok (mereka dari pecinta alam), dan juga 2 orang “penunjuk jalan” dari warga sekitar Burangrang. Supply logistik kami selama 3 hari tidak dibawa sekaligus. Kami hanya menggendong bekal untuk makan satu hari. Nanti tiap malam akan dibagi lagi logistik untuk hari berikutnya. Lalu siapa yang membawakan logistik tambahan ini? Mereka adalah orang-orang khusus yang dikirim dari desa untuk naik membawa bahan makanan untuk kami. Haha, jadi ini naik gunung atau wisata?. Harus diakui pada bagian ini kami menyadari bahwa kami adalah pendaki yang sangat amatir sekali :D. Tapi meski demikian, tensi pendakian level ini memang cukup bagi kami, karena tanpa membawa bekal makan 3 hari pun kami sudah keberatan bawaan.

Malam pertama di Gunung, kami sengaja tidak diarahkan. Dibebaskan membuat tenda dengan perbekalan yang ada. Alhasil, berbagai rupa tenda yang tercipta. Ada yang kependekan, ketinggian, kurang bahan dan sebagainya. Tapi bersyukur, malam itu tidak hujan. Di sana kami mulai merasakan hidup jauh dari peradaban, terutama untuk urusan toilet! T_T

Malam kedua, kami diminta membuat bivak alam (tenda dari pepohonan). Tentu sudah diajarkan caranya sebelumnya. Alhamdulillah malam kedua “rumah” kami lebih bagus.  Malam ketiga, kami tiba di hutan pinus. Sepertinya sudah dekat permukiman. Malam itu, kami tidur sendiri-sendiri dalam format solo-camp. Setiap satu orang harus berjarak minimal 3 meter dari peserta lainnya. Kami membangun tenda sendiri dengan sangat buru-buru karena hari sudah gelap ketika tiba di lokasi. Di momen ini, ada seorang teman yang sampai menangis karena takut tidur sendirian. Dan di momen ini pula, dengkuran seorang teman yang termasyhur selama survival ini, menjadi tanda bahwa malam itu kami tidak sendiri. Hehe akhirnya dengkuran punya manfaat juga.

2 hari di Lembang

Voila! Masa kejayaan tiba. Hehe. Saat itu melihat jalan berbatu adalah sebuah kabar gembira karena artinya kami sudah dekat permukiman. Kami diboyong ke Lembang. Di sana sudah menanti Bapak&Ibu pimpinan dari eselon 1 sampai 4. Hal yang pertama kali ditanyakan atasan saya waktu itu adalah: “Kamu ngga papa Mba?”. Dan mulailah kami berkisah tentang penderitaan selama di hutan dengan dramatisasi yang berlebihan :D

Di lembang, kami akhirnya menerima kembali barang kami yang sangat berharga yaitu Handphone. Selama survival memang HP ditahan panitia dan hanya diberi 2x kesempatan untuk mengubungi keluarga. Beruntung waktu di Cipatat saya punya kesempatan 1 hari bersama HP, karena izin keluar untuk wawancara beasiswa di Bandung.

Acara di Lembang adalah dominan games dan diskusi bersama pimpinan. Jarang-jarang ada momen seperti ini dimana kami disatukan dengan  mereka dalam atmosfir yang informal. Yak, Begitulah kisahnya..

Lesson Learned:

  1. Disiplin: Poin ini banyak didapat di barak militer. Betapa hidup teratur itu enak. Olahraga tiap hari awalnya menyiksa sekali, masih ngantuk disuruh loncat-loncat, push-up. Tapi lama-lama terasa juga badan yang lebih segar & semangat akan membuat hidup lebih produktif. Selain itu, kebersihan dan kerapihan banyak didapat ketika mengatur barang di kamar dan baris berbaris.
  2. Saling membantu: pembelajaran ini banyak ditemukan ketika mendaki gunung. Kita tidak bisa hidup sendiri di dunia ini. Akan ada saat kita butuh orang lain. Oleh karenanya, jangan pernah bikin masalah dengan orang lain. Berlakulah baik karena mungkin tidak selalu ada persahabatan sejati, tapi selalu ada kebutuhan sejati.
  3. Mandiri: Terlepas dari ketergantungan terhadap orang lain, kita juga harus punya kapasitas diri yang cukup. Mandiri itu penting, karena orang lain tidak selalu bisa diandalkan. Ada saat dimana kita bertemu masalah dan hanya kita yang harus bisa mengatasinya. Misalnya ketika naik gunung, jika hanya kuat menggendong beban 7 kilo maka jangan bawa barang 10 kilo, karena kita akan merepotkan orang nantinya.
  4. Mengenal diri: Benar kata sebuah quote: “di hutan memang tidak ada sinyal jaringan komunikasi, tapi banyak sinyal untuk mengenal diri sendiri”. Percayalah..ketika kita di hutan, kehabisan makanan, kehujanan tiada tempat berteduh..kita akan tahu bahwa diri ini kecil di hadapanNya. Dan di sana muncul karakter diri kita. Apakah kita termasuk orang yang sabar, atau mudah mengeluh dan mengandalkan orang lain.

100_4182_resized

3 Comments

Filed under Diary

Biarkan Ikan-ikan Berenang: Menyelisik Sisi Humanisme Sebuah Kebijakan

“If we get the right people on the bus,
the right people in the right seats,
and the wrong people off the bus,
then we will figure out how to take it someplace great…”

 Kalimat itu adalah perkataan seorang pimpinan perusahaan hebat dalam buku Good to Great karya Jim Collins. Adalah sebuah rahasia yang mahal bahwa kesuksesan seorang pemimpin membawa perusahaannya dari baik (good) menjadi hebat (great) adalah tentang bagaimana dia mendahulukan “siapa” sebelum “apa”. Maksudnya adalah mendahulukan komposisi SDM sebelum menentukan tujuan perusahaan. Dalam analogi bus di atas, pemimpin tersebut tidak memulainya dengan menyetir mobil sambil mengambil penumpang untuk diajak ke suatu tujuan. Sebaliknya, dia mulai dengan memilih penumpang yang tepat kemudian barulah menentukan tujuan kemana bus ini akan dibawa. Ini menarik.

Pemimpin ini tahu 3 buah kenyataan sederhana. Pertama, Ketika dia mulai dengan “siapa” sebelum “apa” maka dia akan mudah sekali beradaptasi dengan perubahan. Bayangkan jika orang-orang itu masuk ke dalam bus karena ingin ke tujuan tertentu, apa yang terjadi jika sang pemimpin merubah tujuan? Tentu mereka tidak siap. Tapi jika orang-orang itu masuk bus karena kesamaan minat, kecocokan, dan kenyamanan, maka tak masalah kemanapun bus akan menuju. Kedua, jika dia memasukkan penumpang yang tepat di dalam bus maka urusan memotivasi dan mengatur tidak jadi masalah. Mereka sudah punya kesadaran dan motivasi dari dalam sehingga siap menciptakan sesuatu yang besar. Ketiga, kalau dia memasukkan orang yang salah maka meskipun kelak misinya sampai ke tujuan tetap saja tidak akan mampu mewujudkan perusahaan yang hebat. Visi yang besar tanpa dukungan SDM yang memadai adalah tidak relevan.

Begitulah kira-kira seharusnya kebijakan pendidikan di negeri ini dimainkan. Berawal dengan membina SDM baru menentukan tujuan. Namun kenyataannya justru sebaliknya. Ada sebuah kebijakan yang menggelitik saya  karena diawali dengan menetapkan tujuan tanpa memikirkan SDM yang memikul beban. Tak peduli SDM dan infrastruktur pendukungnya siap atau tidak yang penting tujuan tercapai.

Kebijakan yang saya maksud adalah kebijakan pendidikan yang baru-baru ini dicanangkan untuk syarat kelulusan program sarjana, magister, dan doktoral. Untuk magister kebijakan itu berbunyi: Untuk lulus program magister harus sudah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi DIKTI. Kebijakan ini mengingatkan saya tentang analogi diatas. Yaitu ketika pemerintah menginginkan “bus” ke arah penerbitan karya ilmiah sebanyak-banyaknya, sementara “penumpangnya” terdiri atas mahasiswa yang suka atau tidak suka menulis dan kampus yang siap atau tidak siap menerbitkan jurnal. Jadi apakah kebijakan ini sudah mendahulukan “siapa” sebelum”apa”? Jawabannya bisa kita telaah dari beberapa realita.

Kesiapan Jurnal

Berdasarkan data di situs DIKTI diketahui bahwa ada sekitar 540-an PTN dan PTS (Universitas dan Institut) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, anggaplah kita ambil sampel 100 PT yang menyelenggarakan program pascasarjana. Jika satu angkatan per kampus menerima rata-rata 1.500 mahasiswa, maka ada 150.000 mahasiswa pascasarjana yang diterima dan lulus per tahun di 100 PT tersebut. Jumlah itulah yang terkena kewajiban publikasi karya ilmiah. Ini adalah jumlah yang terlalu besar dibanding kapasitas jurnal terakreditasi yang ada sekarang.

Tercatat di LIPI saat ini hanya ada 245 judul jurnal ilmiah terakreditasi DIKTI. Jika sebuah jurnal terbit setahun 3 kali dan memuat 10 judul karya per edisi saja, hanya akan tersedia kuota 245x3x10 atau 7.350 judul karya per tahunnya. Sementara antrian karya ilmiah yang ingin dimuat mencapai 150.000 judul per tahun. Lalu kemana puluhan ribu karya ilmiah lainnya akan dimuat?

Jika argumentasinya kemudian tentang menerbitkan jurnal ilmiah dan melakukan akreditasi sebanyak-banyaknya, rupanya kita perlu melihat bahwa akreditasi jurnal tidak bisa sembarangan. Standar akreditasi yang ditetapkan DIKTI sendiri cukup tinggi. Dalam Peraturan Dirjen DIKTI Nomor 49/DIKTI/KEP/2011 disyaratkan bahwa jurnal harus sudah terbit minimal 6 kali sebelum diakreditasi. Ini artinya perlu jam terbang antara 2-3 tahun untuk sebuah jurnal ilmiah sebelum layak mendapat akreditasi. Dengan kondisi eksisting 245 judul jurnal, maka diperlukan 4.775 judul jurnal baru yang harus dibuat dan diakreditasi. Sementara syarat lainnya adalah jumlah cetak minimal sekali terbit adalah 300 eksemplar. Realistiskah jumlah sebanyak itu? Biaya penerbitannya juga pasti sangat besar. Pun jika masalah biaya bisa diatasi, apakah ribuan jurnal yang (misalnya) terbit itu berkualitas? atau hanya sekedar formalitas untuk memenuhi syarat kelulusan?. Rasanya mubadzir kita memiliki ribuan jurnal kalau hanya asal terbit. Masalah kualitas dalam hal ini jauh lebih penting dari kuantitas.

Kesiapan Mahasiswa

Dalam pembukaan Surat Keputusan Dirjen DIKTI dinyatakan bahwa dibanding Malaysia, terbitan karya ilmiah kita  masih sangat rendah yaitu 1:7. Namun, justifikasi itu tidak seharusnya melatarbelakangi kebijakan nasional sebesar ini.  Penumpang bus kita belum siap. Mahasiswa pascasarjana tidak semuanya suka dan piawai menulis, apalagi ini tulisan ilmiah. Tidak bisa ditutupi banyak yang keberatan dengan kebijakan ini karena memang potensi manusia tidak sama. Ada mahasiswa yang lebih suka meneliti, membuat sesuatu yang baru, atau melakukan inovasi, dibanding menulis. Jika kebijakan menulis karya ilmiah ini diwajibkan bahkan menjadi syarat kelulusan, berapa banyak karya-karya yang dipaksakan dan akhirnya berkualitas rendah.

Pasca kebijakan ini turun, banyak ditemukan indikasi keterpaksaan karena rendahnya kemampuan menulis karya ilmiah dan keterbatasan jurnal. Akhirnya mahasiswa rata-rata menjadikan thesisnya menjadi artikel jurnal untuk memenuhi syarat kelulusan. Walhasil karya ilmiah yang disyaratkan tadi tidak lain adalah thesis yang ditulis dalam format jurnal. Lalu apa fungsinya jurnal jika isinya sama dengan thesis sementara thesis sendiri sudah bisa diakses di perpustakaan kampus. Selain itu karena keterbatasan jurnal, di Program Magister Psikologi UI misalnya, hanya thesis yang mendapat nilai A saja yang berhak masuk jurnal. Thesis dengan nilai selain A tidak dapat dimuat di jurnal.

Menulis bukanlah hal yang sederhana. Butuh banyak latihan dan pengalaman. Apalagi ini adalah tulisan ilmiah yang harus memiliki argumentasi dan pembuktian ilmiah. Oleh karena itu, tidak bisa dipaksakan kepada ribuan orang yang memiliki perbedaan potensi. Gardner menuliskan dalam teori Multiple Intelligences bahwa manusia terbagi menjadi 9 potensi kecerdasan, yaitu: linguistik (bahasa), logis-matematis, visual-spasial, musikal, kinestetik-tubuh, interpersonal (sosial), intrapersonal, naturalis, dan eksistensial.

Dengan demikian setiap orang adalah unik, maka menyamaratakan syarat kelulusan untuk ribuan individu yang unik itu serupa dengan sebuah kisah fabel. Kisah ini tidak diketahui siapa pengarangnya, namun dinukil beberapa kali oleh mereka yang mencoba mengkritik sistem pendidikan. Diceritakan, sejumlah hewan menjalani pendidikan di sebuah hutan. Ada gajah, ular, jerapah, kera, kucing, burung, dan ikan. Lalu ujian akhir bagi mereka adalah: memanjat pohon. Bagaimana dengan nasib Sang Ikan? Sampai kapanpun ia tak akan bisa memanjat pohon. Dengan demikian apakah ikan bodoh?.

 Ruang-ruang berkembang

Berangkat dari kenyataan bahwa setiap orang adalah unik, maka jelas bahwa penetapan standar tunggal berupa menerbitkan karya ilmiah untuk lulus program magister tidak akan maksimal. Jikapun berhasil dilakukan, sekali lagi, itu hanyalah formalitas yang miskin kualitas. Alangkah lebih bijak jika disediakan ruang-ruang pilihan agar setiap orang bisa berkarya sesuai potensinya dan kesukaannya (passion).

Ruang-ruang pilihan itu  dapat berupa kelompok/komunitas yang tergabung berdasarkan potensi dan passion pada bidang tertentu. Jadi setiap kampus per rumpun disiplin ilmu bisa membuat kelompok keahlian misalnya kelompok keahlian bahasa, teknik, kedokteran, keguruan, seni, ekonomi, kewirausahaan, dan sebagainya. Di dalam kelompok itu, diprogramkan untuk tidak hanya menulis tapi juga meneliti, melakukan inovasi, menghasilkan produk, berkarya sebanyak-banyaknya di bidang masing-masing. Di STEI ITB ada kelompok keahlian semacam ini, namun sayang keanggotaannya masih terbatas pada dosen. Alangkah baiknya jika keanggotaan kelompok semacam ini diperluas ke mahasiswa sehingga atmosfir mengembangkan keilmuan lebih kondusif.

Ruang-ruang pilihan semacam itu bisa diaplikasikan sekaligus untuk jenjang sarjana, master, bahkan doktor. Bedanya di level kompetensinya. Untuk level master, karena kompetensinya setingkat lebih spesialis dibanding program sarjana, maka standar yang ditetapkan pun harus lebih. Misalnya mereka dibebaskan berkarya namun cakupannya harus spesifik. Karya yang dihasilkan harus berupa produk baru, atau inovasi, atau bahkan mencapai level tertinggi inovasi atau state of the art.

Selain itu, pemerintah dan asosiasi profesi dapat melakukan hal yang serupa. Berlomba-lomba mengembangkan keilmuan dan menghasilkan karya nyata. Memberi ruang bergerak dan berkarya sebanyak-banyaknya untuk berbagai disiplin ilmu. Program Technopreneurship Pemuda yang dibuat Kementerian RISTEK 3 tahun terakhir adalah contoh yang relevan untuk bidang kewirausahaan. Memberi ruang berkarya sesuai potensi dan passion dalam hemat saya jauh lebih penting daripada mewajibkan menulis dan menerbitkan ribuan jurnal ilmiah. Dengan langkah yang terarah ini, negeri kita akan memiliki banyak asset dan pundi-pundi keahlian.

Ruang-ruang berkarya ini adalah “bus” dalam analogi tadi. Bus yang disiapkan untuk menampung orang-orang sesuai potesi dan passion-nya. Dengan begini, maka siapapun tidak akan mendapati kesulitan untuk memotivasi orang untuk berkembang. Mereka sudah pada jalur yang dipilih karena kesadaran dan kesukaan.

Kesimpulan

Dengan telaah singkat di atas, kita mengetahui bahwa kebijakan penerbitan tulisan di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi calon master agaknya terlalu dipaksakan. Akan lebih baik jika kita bersama-sama memaksimalkan peran dan potensi. Kampus menciptakan ruang-ruang pilihan dimana setiap orang bebas berkarya. Mahasiswa memastikan diri masuk ke dalam ruang-ruang itu dan berkarya. Sementara pemerintah bertugas mendanai dan mengarahkan .

Tidak salah menerapkan kebijakan karena merasa kalah dari negara lain. Namun menetapkan misi tanpa melihat manusia yang mendukung misi tersebut adalah sebuah kekeliruan yang patut dievaluasi. Manusia adalah variabel terpenting dari sebuah misi. Manusia  yang sudah merasa berada di tempat yang tepat, tak akan sulit untuk diarahkan untuk mendukung keberhasilan misi. Jika dikembalikan kepada analogi “bus” tadi, maka mahasiswa, profesional, pengusaha, akademisi dan lain-lain itu adalah penumpang yang telah berada pada bus yang tepat yang siap diarahkan kemana saja tujuan yang dicitakan negara ini. Dengan kalimat lain, kebijakan boleh dibuat berdasarkan latar belakang apapun namun harus mempertimbangkan sisi humanisme. Meminta ikan memanjat pohon tidak akan pernah sesuai dengan potensinya. Buatkan danau untuk ikan-ikan dan biarkan mereka berenang.
Referensi:
[1] Collins, Jim (2001). Good to Great: Why Some Companies Make the Leap and Others Don’t. New York: Harper Business
[2] Gardner, Howard (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.
[3] Peraturan Dirjen DIKTI Nomor 49/DIKTI/KEP/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah
[4] SK Dirjen DIKTI Nomor 152/E/T/2012 Tanggal 12 Januari 2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah
[5] http://www.dikti.go.id
[6] http://www.isjd.pdii.lipi.go.id

—————————————————————————–

*Essay ini diikutsertakan dalam Lomba Essay “Adiwidya Pascasarjana” 2013 Tantangan Pascasarjana Indonesia : Refleksi Masa Kini dan Masa Depan

Ditulis oleh: Mutri Batul Aini [mahasiswi STEI ITB konsentrasi Chief Information Officer (CIO) angkatan 2013]

Leave a comment

Filed under agak serius

Yakinlah. Seperti kecilmu dulu.

Entah (tepatnya) karena apa, orang banyak berubah seiring bertambah usia. Aku hanya menebak, mungkin karena kita sekarang “banyak tahu”, sehingga banyak referensi untuk menganalisa antara bisa dan tidak, antara yakin dan ragu.

Kemampuan “menganalisa” memang kelebihan orang dewasa dibanding anak-anak. Tapi, kita terlalu banyak menganalisa :)

Jika ingin sesuatu, pergi dan dapatkanlah seperti waktu kecil dulu.

Leave a comment

November 12, 2013 · 2:34 pm

CIO dari Ilmu Perpustakaan

Penasaran dengan beda S1 (sarjana), S2 (master), dan S3 (doktoral), membuat saya banyak membaca tulisan-tulisan akademisi tentang hal itu. Dikatakan bahwa sarjana itu generalis dan master itu spesialis. Ketika di pendidikan sarjana kita belajar banyak khazanah tentang suatu disiplin ilmu, maka di pendidikan master kita belajar sub bidang yang lebih spesifik dan  dituntut menguasai Best Practice dan State of The Art sebuah bidang. Sementara pendidikan doktoral didesain untuk para pengembang ilmu pengetahuan. Di sana butuh orang-orang yang berjiwa peneliti dan ingin menghasilkan metode baru.

Secara kompetensi, seorang sarjana sudah dapat memasuki sebuah profesi;  seorang master siap melakukan inovasi dalam profesinya; dan seorang doctor siap meneliti dan menghasilkan metode baru yang bermanfaat untuk berkembangnya ilmu pengetahuan. Dosen saya pernah menganalogikan ketiga kompetensi jenjang pendidikan tersebut dengan perkakas yang terbuat dari tanah liat atau dikenal dengan “tembikar” atau “keramik” .  Pendidikan sarjana memberikan wawasan mengenai apa itu tembikar, sejarahnya,  jenis-jenisnya, cara membuatnya, hingga cara pemasarannya. Pendidikan master mendidik seseorang untuk bisa menguasai salah satu jenis tembikar misalnya cangkir. Maka seorang master harus kenal cangkir dari mulai bahan pembuatnya, cara membuatnya, berbagai variasi bentuknya, dan yang terpenting adalah melakukan inovasi dalam membuat cangkir yang lebih baik, lebih indah, lebih kuat,dan inovasi lainnya. Sementara seorang doktor,  dituntut untuk melakukan penelitian di bidang “tembikar” hingga hasilnya nanti akan mampu memberikan petunjuk mengenai cara membuat tembikar yang tidak mudah pecah misalnya, atau menemukan teknologi baru yang membantu proses produksi tembikar, dan sebagainya.

Saat ini pendidikan master banyak diambil oleh lulusan S1 di Indonesia untuk berbagai tujuan. Mereka yang akan memproyeksikan dirinya menjadi dosen wajib sekali menempuh pendidikan master, bahkan doktoral. Sementara bagi yang sudah bekerja, maka pendidikan master ini biasanya ditujukan untuk menambah skill di bidang pekerjaan atau profesinya. Namun tak jarang pendidikan lanjut ini ditempuh karena “hanya”  ingin mendapat “gelar”  demi maju ke dunia politik misalnya. Hm, yang terakhir terdengar pragmatis (atau oportunis?), tapi itu realita :)

Saya sendiri, memang punya keinginan jika berkesempatan melanjutkan pendidikan, ingin mengambil konsentrasi di bidang teknologi informasi untuk perpustakaan. Namun, jenjang master untuk ilmu perpustakaan saat ini belum ada yang spesifik mengarah ke pendalaman teknologinya. Misalnya program yang dibuka di almamater saya (UI), kurikulumnya tidak terlalu kental teknologinya dan lebih banyak mempelajari manajemen perpustakaan. Satu-satunya program yang sesuai dengan ekspektasi saya saat itu adalah Magister Teknologi Informasi untuk Perpustakaan (MTP) yang (malah) dibuka di IPB.

Saya sempat melirik ke MTP IPB untuk kelanjutan perjalanan akademik saya, namun sayang tidak terbuka beasiswa di jalur itu. Ada seorang senior saya yang melanjutkan ke MTP melalui beasiswa kantornya. Namun karena tidak ada kesempatan serupa bagi saya, maka saya harus memilih cara lain. Dan (bukan) kebetulan, beberapa tahun terakhir Kementerian Kominfo membuka beasiswa bidang TI yang dikemas dalam program CIO (Chief Information Officer). Beasiswa itu dibuka karena proyeksi Kominfo untuk membentuk Government CIO yang menjadi penanggung jawab penyelenggaraan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)  di setiap instansi. Tujuan akhirnya adalah tercapainya good governance melalui support TIK.

Saya berfikir, program ini (bisa disebut) cocok untuk keinginan saya di atas. Meskipun ada resiko bahwa cakupan kurikulumnya akan kehilangan nuansa ilmu perpustakaan. Dan memang benar adanya :). Bisa saya gambarkan bahwa di semester pertama perkuliahan, saya mendapat paket 12 SKS dari 5 MK, yaitu:

– Rekayasa Proses Bisnis (2 SKS)
– Perencanaan Strategis TI (2 SKS)
– Tata Kelola TI / IT Governance (2 SKS)
– Sistem dan Manajemen TI (3 SKS)
– Matematika lanjut (3 SKS)

Wow. TI sekali bukan? Iya. Memang CIO ini program murni TI, atau biasa saya sederhanakan menjadi “manajemen TI” karena memang kehendak Kominfo seperti itu. Tidak ada hubungannya langsung dengan ilmu perpustakaan. Namun akan ada hubungannya jika saya mau menghubungkan. *Hehe maksa*

Agak “berlari” memang di semester awal ini untuk beradaptasi dengan berbagai istilah dan ilmu baru di bidang teknologi. Saya sampai harus kursus singkat bahasa pemrograman untuk “ice breaking” di dunia TI. Selain itu, Alhamdulillah, ITB memberikan kuliah matrikulasi selama 2 pekan sehingga sedikit banyak mampu membantu pemahaman beberapa hal mendasar tentang TI.

Lalu, Intinya salah jalurkah saya? Versi saya tidak. Karena bagi saya TI itu adalah “dekorasi”. Dia bisa diterapkan ditempat manapun yang perlu “di-dekor”. Malah bersyukur sekali bisa mempelajari TI dari perspektif yang lebih luas dari koridor ilmu perpustakaan. Karena itu artinya saya mendapat 2 keuntungan, yaitu kompetensi CIO dan kesempatan menggunakannya untuk men-dekor ilmu perpustakaan. Pun, perpustakaan saat ini sangat berkerabat dekat dengan pengelolaan TI di sebuah instansi. Kawan saya pernah meng-aminkan pendapat saya ini dengan mengatakan bahwa dengan belajar CIO, saya justru bisa mengerucutkan TI ke ilmu perpustakaan secara lebih leluasa. Semoga.

Mengutip simpulan Prof Hendra Gunawan Terlepas dari apapun alasan seseorang melanjutkan pendidikannya, kata kunci yang harus selalu dipegang adalah meyakinkan diri bahwa apa yang dipelajari akan “bermanfaat”. Tak ada gunanya sekolah tinggi-tinggi jika kelak tiada memberi manfaat.

Leave a comment

Filed under agak serius